Komitmen, keberanian, ketahanan dan kesabaran dari jutaan individu dan kelompok perempuan terorganisir di lingkungan mereka adalah luar biasa: ilmuwan perempuan, aktivis perempuan dan perempuan lokal di pedesaan dan perkotaan. Hari demi hari mereka melakukan tugas produksi dan reproduksi mereka, melanjutkan hubungan antara manusia dan lingkungan fisik, sehingga mendemonstrasikan pemahaman mendalam dan pengetahuan teknis mengenai karakteristik ekologi dari lingkungannya :
Ruth Lilongula dari Solomon Islands: “Keanekaragaman hayati adalah sangat inti dari keberadaan kami dalam komunitas kami. Anda tidak dapat mengatakan berapa dolar nilainya karena ini adalah budaya dan kelangsungan hidup kami. Dalam konteks ini keanekaragaman hayati yang tak ternilai… Kami menghargai lingkungan sebagai identitas kami, seperti halnya kami dan warisan yang diberikan kepada kami ... lingkungan kami berarti banyak hal, sebuah kelas, apotik, dan supermarket.” (UNEP/IT, 1999)
“Mungkin tidak ada kelompok masyarakat yang lebih terpengaruh oleh kerusakan lingkungan hidup dibandingkan perempuan miskin desa. Setiap subuh mereka harus berjalan kaki sangat jauh untuk mencari bahan bakar, makanan dan air. Tidak masalah jika perempuan itu sudah tua, muda atau hamil: kebutuhan rumah tangga yang sangat penting harus terkumpul setelah hari yang melelahkan, setiap waktu lebih lama dan lebih membosankan….”(CSE 1985: 172)
Ini hanya beberapa contoh dari banyak sekali yang menunjukkan interaksi perempuan dengan lingkungan. Namun: Diskusi tentang Perempuan dan Lingkungan Hidup telah menunjukkan jumlah perempuan dalam pengambilan keputusan mengenai lingkungan masih sangat terbatas - dengan beberapa pengecualian. Pengetahuan perempuan dan minat mereka sering diabaikan dalam pengambilan keputusan dan perencanaan pembangunan, serta dalam sains dan teknologi; akses ke dan kontrol atas sumber daya terbatas dan terancam; kesehatan dan kesejahteraan mereka adalah yang paling banyak terkena pencemaran dan kerusakan lingkungan.
Sawah Kering, Ratusan Wanita dari Pantura Pungut Sisa Sayuran; Perempuan Pantura Tak Pernah Menyerah. Demikian judul liputan berturut-turut di halaman satu Kompas (1-2/9/3). Meskipun bukan berita baru, berita ini tetap membuat miris. Diberitakan ratusan perempuan dari pantura Jawa Barat beramai-ramai menjadi pemungut sisa sayuran atau buruh pemetik cabai di Pasar Induk Cibitung, Bekasi. Apa yang menimpa perempuan pedesaan? Mengapa kemiskinan menjadi wajah perempuan? Mengapa di bumi yang kaya raya ini, perempuan terjerembab dalam kemiskinan?
Dalam skenario pembangunan patriarki di mana pertumbuhan ekonomi menjadi panglima, nasib rakyat tergantung pada kekuatan modal dari negara maju. Neoliberalisme dengan resep dasar deregulasi, privatisasi, dan liberalisasi sekilas tidak bermakna. Tetapi, implementasi resep ini adalah hegemoni pasar, kekerasan, penindasan, monopoli pasar, aturan perdagangan, pemaksaan pendekatan seragam, dan masif.
Revolusi Hijau sejak tahun 1960-an awalnya berhasil mengantar Indonesia sebagai negara swasembada beras tahun 1984. Sepuluh tahun kemudian, hingga detik ini, kita kembali mengimpor beras. Jelaslah, kita mengalami kerugian material tak terhingga, begitu pula yang imaterial. Kini pertanian tergantung pada teknologi yang diproduksi oleh perusahaan multinasional. Tanah terdegradasi dan mata rantai kehidupan rusak. Sementara harga pupuk makin mahal, harga gabah jarang naik secara signifikan.
Dampak bagi perempuan
Kenyataan menunjukkan, eksploitasi lingkungan secara langsung dan khas berdampak pada perempuan. Kisah ratusan perempuan di atas adalah sepenggal kisah miskinnya perempuan dalam arti luas. Revolusi Hijau memaksa penggunaan bibit unggul sehingga pemilihan bibit yang tadinya dikuasai perempuan kini tersingkir. Pemaksaan jenis tanaman tertentu meminggirkan perempuan karena pengetahuannya atas keanekaan tanaman tidak lagi dihargai. Ditambah mekanisasi intensif, mengabaikan eksistensi perempuan karena tidak diperhitungkan kapasitas, kemampuan, dan struktur tubuhnya.
Penggunaan huller, menyingkirkan pemakaian ani-ani, diganti sabit yang lebih berat sehingga perempuan kehilangan atau bertambah beban pekerjaannya. Perempuan tersingkir ketika peralatan modern diperkenalkan dan diasosiasikan dengan peran laki-laki, sementara akses perempuan pada pengambilan keputusan tetap tak ada.
Demi bertahan hidup, perempuan menjadi buruh tani dengan beban kerja berlebih, upah minim, dan risiko kerja tinggi. Perempuan kemudian terdesak bekerja di sektor yang tak terlindungi dan eksploitatif, yaitu dengan bermigrasi. Inilah yang menjelaskan mengapa kantong kemiskinan pedesaan juga menjadi daerah asal buruh migran, pekerja seks, dan pekerja sektor informal. Perempuan bermigrasi mencari kerja meningkat tajam dalam dekade terakhir. Umumnya terjerembab menjadi korban perdagangan. Selain itu, dalam berbagai konflik lingkungan, perempuan menjadi kelompok paling rentan mengalami kekerasan.
(*)ivon_getrida
Tidak ada komentar:
Posting Komentar